Tuesday, March 16, 2010

Ironis. Potret Kesenjangan Sosial.

Pusat perbelanjaan Senayan City dipenuhi oleh calon pembeli sandal dan sepatu merek Crocs di hari kedua brand impor tersebut menggelar diskon besar-besaran, Jakarta Pusat, Selasa (16/3). Antrean warga Ibu Kota di Senayan City, tampak dari lantai dasar hingga lantai enam. Bayangkan, ratusan orang sudah sibuk mengantre dari pukul 07.00 WIB, padahal pesta diskon Crocs baru dimulai tiga jam kemudian.

Itulah penggalan berita yang saya kutip dari http://berita.liputan6.com/berita/201003/268033/Hari.Kedua.Antrean.Crocs.Sampai.Lantai.Dasar











Ya. Beberapa hari terakhir, warga Jakarta sedang sibuk berbelanja sepatu impor bermerek itu. Euphoria dirasakan oleh banyak orang. Kegembiraan yang berlebihan akibat tuntutan gaya hidup. Sepertinya pernyataan tersebut tepat untuk menggambarkan mereka yang merasakannya. Diskon besar-besaran ini seolah menjadi amat penting bagi segelintir masyarakat.

Bandingkan dengan penggalan berita yang dikutip dari http://berita.liputan6.com/ibukota/201003/266683/Bocah.Penderita.Hidrosepalus.Harapkan.Bantuan berikut ini:

Ahmad Fauzan, bayi laki-laki di Sunter, Jakarta Utara, menderita penyakit hidrosefalus. Hingga kini, orangtua bayi malang itu belum membawa anaknya berobat karena ketiadaan biaya.











Miris. Memang. Disaat jutaan sesama sedang bergulat melawan penyakit. Disaat jutaan anak sedang bergumul bersama debu-debu jalanan. Disaat banyak bayi dan balita meninggal sia-sia hanya karena alasan klise yang berlandaskan kemiskinan. Disaat banyak keluarga miskin kesulitan mencari uang untuk biaya pendidikan dan kesehatan. Sebagian orang “berduit” justru menghambur-hamburkan uang dengan caranya masing-masing atas nama tuntutan gaya hidup.

Saya bukan seorang yang sok berjiwa sosial tinggi. Saya bukan seorang yang terlalu perhatian pada masalah-masalah negara seperti ini. Saya pun bukan tidak pernah membelanjakan uang hanya untuk memenuhi keinginan hedonistik saya. Tetapi saya sangat tersentuh dengan keadaan kesenjangan sosial masyarakat beberapa hari belakangan. Pada lima menit saya membaca berita tentang seorang anak yang kesulitan biaya untuk berobat, di lima menit berikutnya saya membaca berita tentang ratusan orang yang sibuk mengantre diskon sandal bermerek.

Adalah munafik jika di ranah pendidikan, mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, kita selalu berorasi tentang pentingnya penghapusan kesenjangan sosial, tetapi ketika kita kembali ke masyarakat justru kita lah yang menjadi aktor-aktor munculnya kesejangan sosial tadi.

Ironis.

No comments:

Post a Comment