Sunday, December 27, 2009

miss u, daddy..

malam ini adalah malam ke-8 aku tidak lagi melihat ayahku dirumah..

Daddy, I love you
For all that you do.

Thank you for the laughter,
For the good times that we share,

Thanks for always listening,
For trying to be fair.

Thank you for your comfort,
When things are going bad,

Thank you for the shoulder,
To cry on when I'm sad.

I'll always be thanking Allah SWT
For giving me a Special Dad like you..

Friday, December 25, 2009

love u sooooo......


i love you, daddy..
you are my hero..
and you're always in my dreams..
i love you, daddy..
you are my superstar..

Saturday, December 5, 2009

Colonial Heritage: Materialistic and Poverty Culture

KEHIDUPAN masa silam di Batavia bisa dibaca dari dagboek, dagelijks journaal alias catatan harian atau lewat novel yang berlatar belakang masyarakat Eropa di Hindia Belanda. Kisah dalam novel bisa sangat tepat mengambil kondisi sosial pada saat itu, dengan karakter utama orang Eropa golongan elite yang berkuasa, pejabat tinggi pemerintah, insinyur sipil, perwira tentara, hakim, pengusaha, pemilik perkebunan, atau dokter.

Misalnya, kisah tentang bagaimana bangsa Eropa hidup terpisah dari penduduk pribumi. Penduduk pribumi biasanya tinggal di kampung sedangkan orang Belanda memiliki rumah atau tinggal di pondokan di blok Eropa di kota atas yaitu Rijswijk, Noordwijk, Weltevreden, Koningsplein. Para pria kulit putih itu biasanya berkeluarga, menikah dengan perempuan kulit putih atau Eurasia dari keluarga berada. Sementara para bujangan kebanyakan terlibat asmara bahkan kumpul kebo dengan perempuan pribumi atau Eurasia jelata.

Dari cerita berjudul "Indisch-gasten of Nederlandsch-Indiers" yang muncul di Bataviaasch Nieuwsblad 1890 diketahui bahwa dari perbincangan dan pemikiran orang-orang Belanda itu ternyata mereka tinggal di Hindia Belanda hanya untuk selingan menuju hidup enak yaitu pulang ke tanah air dengan pensiun penuh kemakmuran. Mereka harus bertahan di Hindia Belanda sedikitnya 10 tahun, paling lama 20 tahun.

Selain itu, Gerard Termorshuizen dalam PA Daum "Tentang Kehidupan Kolonial di Batavia" yang tersaji dalam Jakarta Batavia; Esai Sosio-Kultural, menyebutkan, aktivitas dan ambisi kebanyakan kaum totok (Belanda) diarahkan menurut perencanaan karier mereka, bahkan kalau mungkin didukung oleh nepotisme tak bermoral, mencari banyak uang, hidup enak dan tidak ketinggalan, menarik perhatian semua orang.

Khususnya di Batavia, kedudukan sosial ditentukan oleh kekayaan dan hasrat untuk menonjolkan diri lewat penampilan luar, dalam kelompok orang lain. Penggambaran tentang mentalitas tersebut diturunkan dalam novel berjudul Nummer Elf lewat karakter bernama Lena Bruce yang datang ke Batavia, dari kota lain. Pameran mentalitas materialistis melalui ukuran dan keindahan rumah serta taman mereka, jumlah dan jenis kereta yang mereka miliki, sampai pada kemegahan resepsi dan pesta yang mereka gelar. Termasuk, tentu, dalam hal pendapatan seseorang dan prospek bagus seorang pria yang akan menentukan apakah orang tua akan melepas anak gadisnya saat dilamar.

Adalah Paul Daum, lahir di Den Haag pada 1850, yang bekerja di Jawatan Kereta Api Belanda sebelum akhirnya menempuh karier sebagai wartawan dan novelis di kota kelahirannya. Pria itulah yang menorehkan cerita tentang perilaku para totok di Batavia. Di tahun 1878 ia diangkat sebagai redaktur di surat kabar De Locomotief di Semarang dan dalam waktu setahun, ia menyabet jabatan pemimpin redaksi. Setelah bekerja di De Locomotief, ia digaet Het Indisch Vaderland (juga di Semarang) sampai akhirnya ia berlabuh di Bataviaasch Nieuwsblad sejak Desember 1885.

Daum tak lupa menceritakan realitas kehidupan bangsa Eropa di Batavia yang tak terlalu peduli pada seni. Tokoh-tokoh Daum digambarkan sebagai tokoh yang mirip dengan keadaan yang sebenarnya, di mana mereka lebih suka berpesta, mencari jodoh, main biliar, kartu, dan mabuk berat, pokoknya bersantai di De Harmonie atau Concordia. Tapi tak pernah dijumpai di teater Batavia di Passer Baroe ketika sebuah konser atau peristiwa budaya dipentaskan. Sebagai wartawan, ia tak lelah meneriakkan miskinnya kehidupan budaya di Batavia.

Dalam sebuah artikel di surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad edisi Mei 1886, Daum bahkan mempertanyakan, “Apa yang pasti ditangkap orang asing ketika tiba di Batavia, adalah nihilnya hiburan publik. Ada kelab tempat orang berkumpul untuk membaca, ngobrol, atau bermain biliar tapi itu hanya untuk tuan-tuan terhormat. Ada teater bagus, tapi untuk apa? Jarang dipakai…Kota itu sendiri tak punya tokoh aktor…Sebuah gedung bagus tapi tidak ada apapun di dalamnya."

Rupanya, mentalitas seperti yang digambarkan Daum melalui proses pengamatan dan presentasi realistis dalam novel-novelnya masih terjadi hingga kini. Di Jakarta, masa depan Batavia, di mana kisah Daum dulu juga berpusat, mentalitas seperti yang tergambar di atas makin dipertajam dengan minimnya pemahaman tentang kebudayaan bangsa sendiri, minimnya kegiatan kebudayaan, terlebih dengan kebijakan pemutaran sinetron tak bermutu, juga program tv lain, yang makin merusak mental bangsa ini. Nepotisme juga masih jadi kata pamungkas, demikian pula korupsi demi hidup nyaman hingga anak cucu cicit dan kroni-kroni.

http://www.kompas.com/readkotatua/xml/2009/12/05/10390866/Materialistis.dan.Miskin.Budaya..Warisan.Kolonial