Tuesday, May 4, 2010

Multikulturalisme dan Pluralisme dalam Kebudayaan Nasional yang Ber-Bhineka Tunggal Ika

iseng posting tulisan ini abis buka-buka folder tugas semester 2. jadi inget jaman dulu semangat banget kalo ngerjain tugas (nggak kayak sekarang). tulisan ini dibuat untuk mata kuliah sistem budaya indonesia. happy reading :)
Dalam tulisan saya kali ini, saya akan mencoba untuk mengulang konsep-konsep dari pluralisme, multikulturalisme, kebudayaan nasional, dan bhineka tunggal ika berdasarkan sumber-sumber yang saya dapatkan. Walaupun sekilas terlihat bahwa diantara keempat konsep tadi tidak saling berhubungan, tetapi jika ditelaah lebih jauh akan terlihat bahwa keempat konsep-konsep tersebut memiliki benang penghubung yang saling mengaitkan satu dengan yang lainnya. Hubungan diantara pluralisme, multikulturalisme, kebudayaan nasional, dan bhineka tunggal ika itulah yang akan saya bahas dalam esai saya ini.
Menurut kajian ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka di mana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Pluralisme adalah dapat dikatakan sebagai salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi dalam suatu negara. Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar. Maka pada kehidupan masyarakat pluralistik dikenal adanya istilah otonomi, yaitu pembagian wewenang dan kekuasaan secara distrik.
Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu akan tercipta hasil yang lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting, ialah: perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah. Dapat diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiknya teknologi kedokteran.
Kehidupan yang plural berarti suatu keadaan dimana anggotanya adalah masyarakat heterogen, contohnya Indonesia. Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing. Dalam pluralisme tidak dikenal lagi adanya konsep intervensi dari pihak yang lebih berkuasa dan kuat terhadap pihak-pihak yang lebih lemah. Karena dalam pluralistik, masing-masing pihak memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Maka, secara teori, keadilan lebih mudah diwujudkan dan dikembangkan dalam kehidupan masyarakat pluralistik daripada masyarakat homogen.
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi walaupun terkadang ditafsirkan sebagai ideologi, yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Multikulturalisme di Indonesia dapat dideskripsikan melalui keanekaragaman etnis dan sukubangsa yang tersebar diseluruh wilayahnya. Multikulturalisme pada suatu bangsa adalah merupakan anugerah Tuhan YME yang patut untuk disyukuri oleh bangsa yang memilikinya.
Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.
Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-speaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1971. Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara elit. Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Belanda dan Denmark, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan monokulturalisme. Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya dan Jerman, dan beberapa negara lainnya.
Prinsip multikulturalisme yang wajib untuk diketahui adalah bahwa multikulturalisme harus terbuka terhadap kebudayaan lain. Proses mempelajari kebudayaan mengharuskan kita bersikap multikultural. Untuk masuk dalam satu kebudayaan lain, kita harus berusaha melupakan apa yang kita pelajari dalam kebudayaan kita dan membuka diri terhadap kebudayaan lain yang tengah kita pelajari. Multikulturalisme saat ini merupakan sebuah isu yang hidup sekali-juga secara akademis-banyak diskusi dan penerbitan mengenai multikulturalisme. Multikulturalisme juga dianggap penting secara politis. Di dalam satu masyarakat yang demikian plural, dengan kebudayaan yang begitu heterogen, perlu pemahaman yang didasarkan pada perspektif multikultural.
Kebudayaan sebetulnya merupakan satu tempat di mana seorang anak manusia mempunyai pengalaman belajar pertama. Di dalam studi kebudayaan dibuktikan bahwa untuk keperluan anggota satu kelompok budaya, maka pengetahuan dan nilai-nilai kebudayaan di dalam kelompok itu sebetulnya mencukupi untuk memenuhi kebutuhan kebudayaan dari para partisipan kebudayaan. Artinya, contoh bagi kelompok orang Asmat, kebudayaan mereka sudah cukup untuk keperluan mereka. Bagi orang Sumba, kebudayaan mereka sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Jadi, setiap kebudayaan menjadi sistem nilai yang cukup memenuhi kebutuhan dari anggota kelompoknya.
Masalah kita adalah bahwa dalam setiap sistem budaya mempunyai cara-cara yang berbeda di dalam memberikan penerusan nilai-nilai atau menyiapkan dirinya menjadi tempat orang belajar. Biarpun kita baru belajar di dalam kebudayaan kita, tapi kalau kita memasuki kebudayaan yang lain, sebetulnya kita dituntut untuk mempelajari kembali. Itu berarti melakukan proses melupakan dulu apa yang sudah kita pelajari di dalam kebudayaan kita. Untuk masuk ke dalam satu kebudayaan yang lain, kita harus berusaha sementara waktu melupakan apa yang kita pelajari di dalam kebudayaan kita tanpa meninggalkannya. Setiap norma di dalam kebudayaan selalu mengandung pengetahuan. Kita mesti belajar tentang pengetahuan itu.
Jadi, prinsip multikultural adalah bahwa kita bisa setiap saat melakukan linking dan delinking di dalam kebudayaan. Kita menghubungkan diri dengan sistem nilai, tetapi kita juga berusaha melepaskan diri dari jebakan sistem nilai yang kita telah miliki supaya kita dapat mengerti sistem nilai yang lain sementara waktu dengan benar. Proses perkenalan kebudayaan pada dasarnya bersifat multikultural. Kita tidak bisa dan tidak boleh fanatik dengan kebudayaan kita sendiri, sementara kita mau mempelajari kebudayaan yang lain. Itu tidak mungkin dapat terjadi.
Jadi, proses mempelajari kebudayaan mengharuskan kita bersikap multikultural, dalam arti bahwa kita harus cukup terbuka untuk sementara waktu. Melupakan dulu norma-norma yang ada dalam kebudayaan kita, kebiasaan-kebiasaan dalam kebudayaan kita supaya kita dapat mengapresiasi, memahami norma-norma dan kebiasaan-kebiasaan dalam kebudayaan lain menurut syarat-syarat atau tuntutan kebudayaan yang kita pelajari, bukan menurut syarat-syarat atau tuntutan kita.
Titik perhatian yang perlu diperhatikan adalah perbedaan pendapat mengenai “multikulturalisme” apakah menjadi faktor perpecahan ataukah justru menjadi pemersatu suatu bangsa. Maka hal yang harus kita waspadai adalah munculnya perpecahan etnis, budaya dan suku di dalam tubuh bangsa kita sendiri. Bangsa Indonesia yang kita ketahui bersama memiliki bermacam-macam kebudayaan yang dibawa oleh banyak suku, adat-istiadat yang tersebar di seluruh Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke kita telah banyak mengenal suku-suku yang majemuk, seperti; Suku Jawa, Suku Madura, Suku Batak, Suku Dayak, Suku Asmat dan lainnya. Yang kesemuanya itu mempunyai keunggulan dan tradisi yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Begitu kayanya bangsa kita dengan suku, adat-istiadat, budaya, bahasa, dan khasanah yang lain ini, apakah benar-benar menjadi sebuah kekuatan bangsa ataukah justru berbalik menjadi faktor pemicu timbulnya disintegrasi bangsa. Seperti apa yang telah diramalkan Huntington, keanekaragaman di Indonesia ini harus kita waspadai. Karena telah banyak kejadian-kejadian yang menyulut kepada perpecahan, yang disebabkan adanya paham sempit tentang keunggulan sebuah suku tertentu.
Paham Sukuisme sempit inilah yang akan membawa kepada perpecahan. Seperti konflik di Timur-Timur, di Aceh, di Ambon, dan yang lainya. Entah konflik itu muncul semata-mata karena perselisihan diantara masyarakat sendiri atau ada “sang dalang” dan provokator yang sengaja menjadi penyulut konflik. Mereka yang tidak menginginkan sebuah Indonesia yang utuh dan kokoh dengan keanekaragamannya. Untuk itu kita harus berusaha keras agar kebhinekaan yang kita banggakan ini tak sampai meretas simpul-simpul persatuan yang telah diikat dengan paham kebangsaan oleh Bung Karno dan para pejuang kita.
Hal ini disadari betul oleh para founding father kita, sehingga mereka merumuskan konsep multikulturalisme ini dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Sebuah konsep yang mengandung makna yang luar biasa. Baik makna secara eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit, semboyan ini mampu mengangkat dan menunjukkan akan keanekaragaman bangsa kita. Bangsa yang multikultural dan beragam, akan tetapi bersatu dalam kesatuan yang kokoh. Selain itu, secara implisit “Bhineka Tunggal Ika” juga mampu memberikan semacam dorongan moral dan spiritual kepada bangsa indonesia, khusunya pada masa-masa pasca kemerdekaan untuk senantiasa bersatu melawan ketidakadilan para penjajah. Walaupun berasal dari suku, agama dan bahasa yang berbeda.
Kemudian sebuah ideologi yang diharapkan mampu menjadi jalan tengah sekaligus jembatan yang menjembatani terjadinya perbedaan dalam negara Indonesia. Yaitu Pancasila, yang seharusnya mampu mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang multikultural, multietnis, dan agama ini. Termasuk dalam hal ini Pancasila haruslah terbuka. Harus memberikan ruang terhadap berkembangannya ideologi sosial politik yang pluralistik.
Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan sesuatu sintesis harmonis antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi sosial politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu.